Kamis, 29 Januari 2015

But, Don't Leave Me


Pandangannya masih lurus ke depan, hatinya belum mampu mengendalikan matanya untuk berpura-pura. Kompromi seolah-olah menjadi hal tersulit untuk dilakukan oleh kedua bagian dari dirinya itu. Hatinya meminta untuk beralih saat ini juga, tapi matanya menolak melakukannya.  Terkadang angin mengganggunya. Membuatnya berkedip, dan kehilangan momen sedetik untuk memandang objek yang jauh didepannya. Namun, seakan tak jera walau sudah berulangkali matanya terganggu, gadis ini kembali terdiam dan hanya menatap lurus ke depan.

“Jangan ditatap terus, ntar ketauan lo naksir.”

Ify menghembuskan nafasnya, “kenapa ya Vi, kodrat cewek itu nunggu?”

“Karena kodrat untuk mengungkapkan udah diambil para cowok” Sivia merangkul sahabatnya,
“Kalo lo suka kenapa gak ungkapin aja sih?”

Kan lo sendiri yang bilang barusan kalo kodrat mengungkapkan udah diambil para cowok” Sivia hanya nyengir seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.

Ify mengedarkan pandangannya ke setiap sudut taman, sebelum akhirnya harus menghembuskan nafas kecewanya. Segala hal yang dilakukan diam-diam, bahagia dan sakitnyapun juga diam-diam.

Awan-awan berbaris rapi, tak sedikitpun menyisakan ruang untuk langit ataupun mentari menampakkan diri. Sedikit lagi pekerjaannya selesai. Lehernya terasa pegal setelah dua jam berkutit dengan soal-soal matematika yang begitu rumit. Ify tak akan berhenti sebelum berhasil menaklukannya. Selain karena harus dikumpul besok, matematika memang pelajaran favoritnya. Baginya “Mungkin rumit. Perlu diperjuangkan sebelum mendapat jawaban yang benar. Tapi matematika mutlak, tidak ambigu. Jika salah maka salah, jika benar maka benar.”. Akhirnya ia bisa bernafas lega, tugasnya selesai. Bersamaan dengan itu, awanpun juga telah menyelesaikan tugasnya untuk memproduksi air yang akan mengguyur bumi. Ify merapikan buku-bukunya, lalu bergegas ke luar rumah. Menemani sang hujan mementaskan tarian indah walau tanpa penonton yang menyaksikan.

“Aku selalu bahagia saat hujan turun, dimana ku dapat mengenangmu untuk ku sendiri” Ify bersenandung accapela, kemudian tersenyum lirih, “apa yang bisa aku kenang dari cinta diam-diam ini? Sakit? Bahagia?” Ify kembali tersenyum lirih. Ia mengingat bagaimana hujan berkali-kali mempertemukannya dengan lelaki yang sampai sekarang tidak ia ketahui namanya. Ia juga mengingat ketika seorang wanita memeluk lengan lelaki itu dengan mesra.

Ify menengadahkan wajahnya, membiarkan air hujan menyentuh setiap  kepedihan yang nampak di wajahnya. Matanya terpejam, mencoba berbagi rasa sakit dengan sang hujan.

***
                Bukannya tak mengetahui perasaan gadis itu, bukan pula tak membalas setiap cinta yang terpancar di matanya. Hanya saja sang waktu mempertemukan mereka di saat yang tidak tepat.  Siang dan malam terus berganti. Dilema semakin dirasakan olehnya. Apapun yang dilakukannya pasti akan menyakiti satu atau mungkin keduanya. Matanya berkaca-kaca menatap mata teduh yang selama ini dinikmatinya diam-diam. Mata teduh sang gadis kini tengah memancarkan kesedihan, sebelum akhirnya ia menutup matanya dan membiarkan air hujan membelai lembut wajahnya. Rio memperhatikan semua itu, juga merasakan apa yang tengah dirasakan oleh gadis yang jauh didepannya.

“Ungkapin bro, jangan dipendem, sakitnya tuh disini” Gabriel menirukan gaya alay remaja jaman sekarang.

“Dan gue harus nyakitin Shilla?”

“Urusan milih-memilih emang harus ada yang tersakiti”

“Sedangkan gue bahagia?”

“Emang lo bahagia? Justru lo yang menderita. Lo pilih Shilla ataupun Ify, tetep aja lo bakal menderita. Kan serem dihantui sama setan yang namanya bersalah(?)”

Rio menoyor kepala Gabriel, “muka lo tuh kaya setan”

Gabriel hanya nyengir sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban tangan Rio.

“Rio………..”

“Noh, istri lo udah dateng.” Gabriel segera berlari ke kamar Rio, sebelum terserang kemurkaan seorang Mario (?).

“Anjirrrr..” teriak Rio kesal.
“Dikira gue udah tua apa punya istri.” Dumelnya.

Tiba-tiba seseorang menutup matanya dengan tangan. Tangan yang halus, yang suatu saat pasti akan digunakannya untuk menghapus air mata. Rio terdiam.

“Kok gak ditebak sih?” tanyanya dengan nada kesal. Tangannya masih menutupi mata Rio.

Rio tersenyum, “Shilla..”

“Curang,” Shilla melepaskan tangannya,
“Kamu sengaja nunggu aku ngomong dulu, jelas aja bisa nebak. Ih aku ngambek.”

Rio tertawa kecil lalu menggoda gadisnya, “Ngambek? Yaudah ngambek aja.”

“Rio mah..” Shilla memanyunkan bibirnya.

Rio memandang gadisnya yang masih kesal dengan tingkahnya, lalu tersenyum jail dan menggelitiki Shilla. Mereka tertawa bersama.

“Jadi, tuan putri masih ngambek?”

Shilla tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Rio. Rio balas memeluknya, dan kembali melihat ke arah jendela. Melihat seseorang yang kini juga tengah mengisi hatinya.

***
                Ify tak berani mendongakkan kepalanya. Bahkan ia tak peduli jika caranya berjalan yang menunduk akan membuatnya menabrak apapun yang berada didepannya. Yang ia takutkan adalah ketika matanya harus bertemu dengan mata lelaki yang kini tengah bermain layangan di taman AMI, tempat dimana biasanya Ify menghabiskan waktu luangnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dirasakan oleh hatinya. Entah sakit atau bahagia. Tak ada yang bisa memastikan, antara Ify yang berjalan ke arah Rio atau memang Rio yang sengaja menghadangnya. Yang bisa dipastikan adalah, Rio kini berada di posisi yang seolah-olah tengah menghadang Ify. Mau tak mau Ify mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap Rio. Namun, tatapan Rio justru tertuju pada layangannya yang sedang melayang.

‘Dia sadar gak sih gue sekarang ada didepannya? Gimana bisa coba gue suka sama cowok yang gak ada peduli-pedulinya sama sekitar kayak dia’ gumam Ify dalam hati.

Ify melangkahkan kakinya ke kanan agar bisa melanjutkan langkah, namun Rio mengikuti langkah Ify tanpa mengalihkan pandangannya dari layangan. Ify kembali melangkahkan kakinya ke kiri untuk menghindari Rio. Namun, entah sengaja atau tidak, Rio kembali mengikuti gerak langkah Ify dan kembali menghadang gadis manis itu.

Ify menghembuskan nafasnya kesal, “Boleh gue lewat?”

Ify berhasil membuat Rio mengalihkan pandangannya dari layangan. DEG. Untuk pertama kalinya Ify dapat memandangi setiap lekuk wajah Rio dalam jarak sedekat ini. Ify terdiam. Takut Rio akan mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat melebihi kecepatan normal.

“Maaf.. Silakan lewat” untuk beberapa saat Ify sempat terpana melihat senyum Rio yang ditujukan untuk dirinya, sebelum akhirnya ia tersadar dan kembali melanjutkan langkahnya.

“Ify..” sebuah panggilan membuat Ify terlonjak kaget. Ia segera menoleh ke belakang dan bertanya, “Tau nama aku darimana?”

Rio tersenyum, “Nggak susah untuk cowok mencari tau informasi cewek yang mampu menarik perhatiannya..”

Ify segera membalikkan badannya agar leluasa untuk tersenyum. Ia masih terlalu kaget untuk mendengar pengakuan Rio yang entah bercanda atau memang benar dari dalam hatinya. Yang pasti, saat ini semburat merah telah hinggap dipipinya. Ify segera berjalan dengan tergesa-gesa. Membuat Rio kembali menyunggingkan senyumnya. Untuk pertama kalinya, Rio menjadi alasan dari ‘salah tingkah’-nya Ify.

“Nama aku Rio” teriak Rio, berharap Ify mendengarnya.

***
Ify memang bukan gadis remaja yang menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan dan hanya bersenang-senang semata. Ia lebih suka menghirup udara segar di taman, ditemani buku-buku prosa fiksi yang menjadi bacaan favoritnya. Kadang ia berharap, kisah cintanya seperti cerita-cerita fiksi yang dibacanya. Berakhir bahagia.

“Hai..” Ify segera menutup wajahnya dengan buku, ketika ia mendengar suara yang akhir-akhir ini sudah akrab ditelinganya.

‘Jantung please, berdetak kayak biasanya aja. Jangan bikin gue salah tingkah lagi’ gumam Ify, lalu menurunkan bukunya, memperlihatkan wajahnya, memberanikan diri membalas sapaan Rio,
“Hai..”

“Ngapain?”

“Baca”

Rio mendadak canggung. Bagaimana bisa ia melontarkan pertanyaan yang seharusnya tanpa dipertanyakanpun dirinya bisa mengetahui jawabannya. Rio merutuki dirinya sendiri.

Jalanan masih terlihat basah oleh hujan yang turun siang tadi. Dan masih terasa licin karena mentari tak kunjung menampakkan diri hingga kini. Beberapa bulan terakhir ini memang awan-awan sangat berkuasa atas langit, dan kinipun mereka kembali memproduksi hujan. Rio menarik tangan Ify sembari memayungi  gadis itu dengan tangannya yang lain. Meski hujan tetap membasahinya, tapi Ify tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dengan sedikit berlari, Rio berusaha mencari tempat berteduh agar gadis disampingnya tak kehujanan. Dan lagi, Ify tersenyum.

“Yo..”

“Kita harus cari tempat berteduh Fy”

“Kita hujan-hujanan aja..”

Rio berhenti dan menoleh ke arah Ify. Ia lupa bahwa gadis ini adalah gadis yang tidak akan berlari mencari tempat berteduh jika hujan turun seperti yang dilakukannya. Ify melepaskan tangan Rio yang memegang pergelangan tangannya, lalu menariknya untuk kembali menikmati hujan. Untuk beberapa saat, mereka terlihat sangat bahagia. Bermain kejar-kejaran seolah-olah rasa canggung yang biasa menyelimuti mereka hilang begitu saja. Rio memegang lututnya seraya membuat nafasnya stabil. Ify yang melihat Rio kelelahan mulai memijakkan kakinya di rerumputan yang terus-menerus dihantam oleh sang hujan, lalu duduk diatasnya. Rio mengikutinya. Merekapun tertawa bersama.

“Kenapa kamu suka hujan?” Rio menatap Ify yang mulai berbaring di atas rumput, kemudian tersenyum memandangi wajah polos itu. Iapun ikut merebahkan dirinya di rerumputan.

“Karena menangis adalah hal yang paling menenangkan. Dan tempat persembunyian tangisan ya ketika hujan.” matanya terpejam, membuat kecantikan gadis ini semakin terpancar. Ify membuka matanya, dan menoleh ke arah Rio.
“Kenapa kamu suka hujan?”

Rio menoleh, membuat matanya bertemu dengan mata teduh Ify, mata yang selama ini dinikmatinya diam-diam, “Karena hujan selalu mempertemukan aku sama kamu.”

Ify tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya ke langit, “Berapa banyak cewek yang kamu gombalin? Kamu tau? Cewek itu cepet GR. Gombalan kamu pasti udah nyakitin banyak cewek.”

‘Ijinin aku egois sekali aja Shill. Maaf kalo hari ini aku ngehianatin kamu.’ Rio mencoba mengambil keputusan dari pertentangan yang terjadi di dalam dirinya.

“Fy..”

Ify kembali menoleh ke arah Rio, membuat tatapan mereka kembali beradu, “Ya?”

“Aku sayang sama kamu.”

Ify terlonjak kaget, dan dengan segera memposisikan dirinya untuk duduk. Rio mengikuti.

“Aku tau apa yang kamu pikirin. Cewek sepolos kamu gak akan gampang percaya sama cowok. Tapi kamu harus tau, aku belum pernah seserius ini sebelumnya.” Rio berusaha meyakinkan Ify.

“Aku pernah liat kamu sama....”

“Itu temen aku.” Rio dengan cepat memotong pembicaraan Ify sebelum dirinya tak mampu memaksa lidahnya untuk berbohong.

“Fy..” Rio kembali memanggil gadis yang tengah terdiam membelakanginya.

Ify menoleh. Meski dalam hujan, Rio bisa melihat ada air mata yang mengalir di pipi Ify.

“Kamu tau, Yo? Mungkin aku lebih dulu sayang sama kamu.”

Rio menyentuh pipi Ify, mencoba menyeka air mata yang turun bersamaan dengan air hujan,
“Dan kamu tau, Fy? Mungkin aku lebih dulu memperhatikan kamu diam-diam, mungkin aku lebih dulu suka, cinta, dan sayang sama kamu.”

Ify tersenyum lirih, lalu menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Rio. Erat. Seolah tak ada yang menginginkan perpisahan di masa depan apapun alasannya.

***
Mentari masih bersembunyi dibalik awan, membuat cuaca menjadi dingin meski hari masih siang. Selama musim hujan masih berlangsung, taman akan tetap sepi. Mereka hanya setia pada matahari pagi atau sore, bukan pada awan yang selalu membuat hujan. Membuat segalanya menjadi lambat. Tapi tidak dengan Ify. Gadis ini selalu menyukai barisan awan yang menggelapkan bumi, lalu menanti sekilas warna-warni yang menghiasi langit. Terlebih, selama beberapa bulan ini ia tak sendirian lagi menyaksikan keindahan itu. Tak ada lagi kesedihan yang akan dibaginya bersama hujan, hanya kebahagiaan. Dan Ify berharap kebahagiaan ini tidak hanya untuk beberapa bulan, tapi untuk tahun-tahun mendatang juga.

“Aneh ya? Orang-orang pengen liat pelangi, tapi gak suka hujan. Padahal gak akan ada pelangi kalo gak ada hujan.” Rio membiarkan tubuhnya bersandar sejenak di bangku taman.

Ify menjatuhkan dirinya di sebelah Rio, “Itulah manusia, pengen dapet kebahagiaan, tapi gak suka ujian. Padahal untuk sekadar bahagiapun butuh proses, gak instan.” lalu menatap ke arah langit.

“Untuk melihat pelangi itu gampang, mendapatkannya yang susah..”

Ify menoleh, lalu memasang wajah herannya, “Setelah hujan, pelangi nggak selalu muncul. Butuh kesabaran, nggak gampanglah ngelihat pelangi.”

“Pelangi emang gak selalu muncul setelah hujan, buktinya sekarang pelanginya ada di depan aku,” Ify tertawa kecil mendengarnya. “kalo cuma sekadar mandangin pelangi itu gampang, menggapainya yang susah.” Rio tersenyum ke arah Ify.

Ifypun tersenyum, sebelum akhirnya menertawai gombalan Rio.
“Gombalannya gak ngaruh, senyumnya gak mempan.”

 “Tapi suka kan?” Rio menaikturunkan alisnya.

“Dih, nggaklah.” Ify memeletkan lidahnya.

Rio tertawa kecil seraya mengacak poni gadisnya, lalu menatap senyum yang terus terpancar di wajah Ify. Entah sampai kapan ia akan menjadi alasan di balik senyum Ify.
“Terus tersenyum, Fy. Aku gak mau jadi alasan di balik air mata kamu.”

“Aku gak akan nangis selama ada kamu di samping aku.” ucap Ify yakin.

***
                Rio mengedarkan pandangannya, melihat wajah di setiap meja yang sudah tertata dengan rapi. Pandangannya terhenti di sudut ruangan yang sangat ramai hari ini. Rio menghembuskan nafasnya, memantapkan hatinya untuk tidak merubah keputusan. Kemudian, ia melangkah ke arah dimana seorang gadis cantik tengah menantinya di sebuah meja di sudut ruangan.

“Shill..”

Shilla menoleh lalu memeluk Rio erat.
“Aku gak mau kehilangan kamu, Yo.”

“Kamu kenapa, Shill?” Rio melepaskan pelukan Shilla, lalu mengajaknya untuk duduk.

“Papa aku mau aku sekolah di luar negeri.”

“Emm.. Shill, aku rasa, kita emang harus putus.”

“Tapi, aku gak mau kehilangan kamu. Apa kita gak bisa LDR?”

“Shill, kamu harus fokus belajar. Lagipula, aku mau bilang sesuatu.”

“Aku tau kamu mau bilang apa. Kamu suka sama cewek namanya Ify kan?” Shilla mencoba untuk menahan air matanya.
“Aku bisa aja marah, tapi semakin aku marah, itu bakal makin jauhin aku sama kamu, Yo. Tapi, sekarang hal yang aku takutin terjadi. Kamu milih dia. Aku gak bisa marah, karna akupun harus  ninggalin kamu juga.” air matanya akhirnya mengalir, isakannyapun bisa terdengar oleh pendengaran Rio. “Biarin aku yang putusin kamu. Kita putus.”

Rio menggenggam tangan Shilla erat, “Maafin aku, Shill. Aku gak tau apa aku bisa ngelupain kesalahan aku ini.”

Shilla menggeleng, “Kamu gak salah. Cinta gak bisa dipaksa. Dan aku juga gak bisa maksain kamu untuk bertahan sama aku.” lalu tersenyum, “Sekarang kamu kejar Ify. Dia pasti lagi nangis sekarang. Kamu cek hp kamu mungkin dia udah berkali-kali ngehubungin kamu.” Ucap Shilla yang tadi sempat melihat Ify ada disekitarnya.

Rio mencoba memahami kalimat yang diucapkan Shilla, lalu mengaktifkan hpnya. Ada 8 pesan disana.

“Yo, kamu dimana? Aku mau ketemu.”

“Yo, kamu dimana? Aku tunggu di taman.”

“Kok kamu lama sih, Yo? Kalo gitu aku ke rumah kamu ya. Aku mau ngomong penting, gak ada waktu lagi.”

“Yo, kata temen kamu, kamu lagi di Cafetaria? Aku nyusul ya.”

“Yo, aku udah di depan cafetaria. Kamu dimana? Aku masuk ya?”

“Kamu jahat!”

“Kamu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta, dan kamu orang pertama juga yang buat aku sakit hati. Makasih untuk beberapa bulan ini. Aku gak marah, karna akupun harus ninggalin kamu.”

“Semoga bahagia sama cewek tadi. Aku pamit.”

Rio terperanjat, lalu segera pergi meninggalkan Shilla yang menangis.
“Semoga bahagia sama Ify, Yo. Aku pamit.” lirih Shilla lalu beranjak dari tempatnya.

***
                Hatinya tengah gusar. Orang tuanya akan pindah kota karena bisnis, dan iapun harus ikut. Pikirannya sibuk memikirkan hubungannya dengan Rio yang sudah terjalin beberapa bulan ini. Haruskah dirinya dan Rio menjalani LDR atau berhenti sampai disini. Ia harus bertemu Rio.

“Yo, kamu dimana? Aku mau ketemu.” Ify mengetik pesan singkat, lalu mengirimnya. Tak ada balasan.

Ifypun kembali mengirim sebuah pesan, “Yo, kamu dimana? Aku tunggu di taman.” lalu segera pergi ke taman.

Ify mulai gusar karena Rio tak kunjung datang. Sesekali ia berdiri dan melirik jam berharap Rio segera sampai, dan mereka bisa segera memutuskan kemana arah hubungan mereka setelah ini. Ify tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia memutuskan untuk ke rumah Rio.

“Kok kamu lama sih, Yo? Kalo gitu aku ke rumah kamu ya. Aku mau ngomong penting, gak ada waktu lagi.”

Ify segera berjalan ke rumah Rio yang tak jauh dari taman. Ify benar-benar berharap bisa bertemu Rio, dan membicarakan tentang hubungan mereka sebelum ia berangkat ke Bali sore ini. Ify mengetuk pintu rumah Rio. Namun, yang membuka pintunya adalah seorang lelaki yang sebaya dengan Rio.

“Cari Rio ya?” tanyanya. Ify mengangguk.
“Rionya tadi sih bilang pergi ke cafetaria.”

“Oh, makasih emmm..”

“Gabriel” ucap lelaki itu yang seolah-olah mengerti.

“Oh iya, makasih Gabriel.” Ucap Ify sambil tersenyum, lalu menyusul Rio ke cafetaria dengan sepeda.

“Yo, kata temen kamu, kamu lagi di Cafetaria? Aku nyusul ya.”

“Yo, aku udah di depan cafetaria. Kamu dimana? Aku masuk ya?”

Ify heran mengapa tak ada satupun pesan darinya yang di balas. Ifypun memutuskan untuk masuk ke dalam cafetaria. Ify mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tatapannya berhenti ketika melihat kekasihnya tengah memeluk wanita yang dulu sempat dilihatnya menggandeng tangan Rio.

‘Kamu bohong, Yo. Kamu bilang dia temen kamu, tapi...’ gumam Ify dalam hati. Matanya berkaca-kaca, siap bercerita tentang apa yang tengah dirasakan oleh hatinya.

Rio menggenggam tangan wanita itu dengan erat, semakin membuat hati Ify sakit. Air matanya tak terbendung lagi, ia membiarkan saja air matanya mengalir. Tatapannya bertemu dengan wanita itu, kemudian tersenyum tulus ke arahnya membuat Ify tak bisa mengerti senyuman dari wanita yang kini tengah bersama Rio itu. Tapi, hatinya tak mampu lagi melihat pemandangan yang jauh di depannya. Ia segera berlari meninggalkan cafetaria.

“Kamu jahat!” Ify sempat mengirim pesan sebelum pergi dari cafetaria.

Ify meletakkan sepedanya di depan rumah. Kemudian, menghapus air matanya sebelum masuk ke dalam rumah. Ify mencium tangan sang mama, lalu membantu mamanya memasukkan barang-barang  ke dalam mobil. Ify kembali mengirim pesan ke Rio.

“Kamu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta, dan kamu orang pertama juga yang buat aku sakit hati. Makasih untuk beberapa bulan ini. Aku gak marah, karna akupun harus ninggalin kamu.”

Ify masuk ke dalam mobil. Ia menatap rumah Rio di seberang rumahnya. Lalu menatap taman yang biasanya menjadi tempat dirinya dan Rio menghabiskan waktu berdua. Air matanya menetes. Ia mengingat semua kenangan yang pernah dilaluinya bersama Rio, orang pertama yang berhasil merebut hatinya. Kemudian, kata-kata yang pernah diucapkan lelaki itu terus terniang di otaknya.

“Nggak susah untuk cowok mencari tau informasi cewek yang mampu menarik perhatiannya..”

“Nama aku Rio”
“Kenapa kamu suka hujan?”
“Karena hujan selalu mempertemukan aku sama kamu.”
“Aku sayang sama kamu.”

“Dan kamu tau, Fy? Mungkin aku lebih dulu memperhatikan kamu diam-diam, mungkin aku lebih dulu suka, cinta, dan sayang sama kamu.”
“Pelangi emang gak selalu muncul setelah hujan, buktinya sekarang pelanginya ada di depan aku,”
“Terus tersenyum, Fy. Aku gak mau jadi alasan di balik air mata kamu.”
Air matanya kembali menetes. Semua kenangan itu menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya. Ify mengirim pesan ke Rio untuk yang terakhir.
“Semoga bahagia sama cewek tadi. Aku pamit.”

Ayah Ify mulai melajukan mobilnya. Ify tersenyum, lalu mematahkan kartu ponselnya.

“Ifyyyy....” Ify menoleh mendengar teriakan Rio.

Ify bisa melihat Rio yang mengejar mobilnya dari kaca mobil. Meski hatinya sakit karena Rio menduakannya, ia tak bisa marah pada lelaki itu. Bahkan ia masih berharap bahwa ayahnya akan membatalkan bisnisnya. Ify masih ingin mendengar penjelasan Rio atas kejadian tadi. Tapi, ia tahu itu mustahil. Dirinya sudah berada di dalam mobil yang akan membawanya ke Bali. Ify membuang sebuah kertas dari mobil yang berhenti tepat di depan Rio. Rio berhenti mengejar, dan membuka kertas itu.

“JODOH PASTI BERTEMU”  air mata Rio mengalir.

Ia mengangguk dan kembali menatap mobil yang membawa gadisnya pergi. Rio bisa melihat Ify tersenyum dari balik kaca mobilnya. Rio balas tersenyum lirih. Air matanyapun tak bisa ia hentikan untuk tidak menetes. Mungkin ini karma yang harus didapatkannya. Ia menyakiti Shilla, membohongi Ify, dan kini ia harus kehilangan keduanya.

“Aku udah dapet karma untuk perbuatanku. Dan aku pasti akan menulis kisah baruku, sama kamu, Fy.”

***
SETAHUN KEMUDIAN
RIO P.O.V                                                                                                                                                     
                Bagaimana kotamu yang baru? Seperti biasa, kotaku yang dulu pernah menjadi kota kita selalu basah. Temanmu berbagi rasa selalu menghujam kotaku tanpa peduli dengan perasaanku yang semakin merindukanmu. Aku tak pernah lagi berbagi bersama hujan seperti yang pernah kau ajarkan. Terlalu menyakitkan untukku mengingat kesalahan yang membuatku harus kehilanganmu. Terlalu menyakitkan menahan setiap rindu yang siap membuncah tanpa aku tahu dimana obatnya. Tapi satu hal yang aku yakini, bahwa jodoh pasti bertemu. Aku pasti akan bertemu denganmu, dengan obat dari rasa rindu ini. Segera.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar