Pandangannya
masih lurus ke depan, hatinya belum mampu mengendalikan matanya untuk
berpura-pura. Kompromi seolah-olah menjadi hal tersulit untuk dilakukan oleh
kedua bagian dari dirinya itu. Hatinya meminta untuk beralih saat ini juga,
tapi matanya menolak melakukannya. Terkadang
angin mengganggunya. Membuatnya berkedip, dan kehilangan momen sedetik untuk
memandang objek yang jauh didepannya. Namun, seakan tak jera walau sudah
berulangkali matanya terganggu, gadis ini kembali terdiam dan hanya menatap
lurus ke depan.
“Jangan ditatap terus,
ntar ketauan lo naksir.”
Ify menghembuskan
nafasnya, “kenapa ya Vi, kodrat cewek itu nunggu?”
“Karena kodrat untuk
mengungkapkan udah diambil para cowok” Sivia merangkul sahabatnya,
“Kalo lo suka kenapa
gak ungkapin aja sih?”
“Kan lo sendiri yang
bilang barusan kalo kodrat mengungkapkan udah diambil para cowok” Sivia hanya nyengir seraya
menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
Ify mengedarkan
pandangannya ke setiap sudut taman, sebelum akhirnya harus menghembuskan nafas
kecewanya. Segala hal yang dilakukan diam-diam, bahagia dan sakitnyapun juga
diam-diam.
Awan-awan
berbaris rapi, tak sedikitpun menyisakan ruang untuk langit ataupun mentari
menampakkan diri. Sedikit lagi pekerjaannya selesai. Lehernya terasa pegal
setelah dua jam berkutit dengan soal-soal matematika yang begitu rumit. Ify tak
akan berhenti sebelum berhasil menaklukannya. Selain karena harus dikumpul
besok, matematika memang pelajaran favoritnya. Baginya “Mungkin rumit. Perlu
diperjuangkan sebelum mendapat jawaban yang benar. Tapi matematika mutlak,
tidak ambigu. Jika salah maka salah, jika benar maka benar.”. Akhirnya ia bisa
bernafas lega, tugasnya selesai. Bersamaan dengan itu, awanpun juga telah
menyelesaikan tugasnya untuk memproduksi air yang akan mengguyur bumi. Ify
merapikan buku-bukunya, lalu bergegas ke luar rumah. Menemani sang hujan
mementaskan tarian indah walau tanpa penonton yang menyaksikan.
“Aku selalu bahagia
saat hujan turun, dimana ku dapat mengenangmu untuk ku sendiri” Ify
bersenandung accapela, kemudian tersenyum lirih, “apa yang bisa aku kenang dari
cinta diam-diam ini? Sakit? Bahagia?” Ify kembali tersenyum lirih. Ia mengingat
bagaimana hujan berkali-kali mempertemukannya dengan lelaki yang sampai
sekarang tidak ia ketahui namanya. Ia juga mengingat ketika seorang wanita
memeluk lengan lelaki itu dengan mesra.
Ify menengadahkan
wajahnya, membiarkan air hujan menyentuh setiap
kepedihan yang nampak di wajahnya. Matanya terpejam, mencoba berbagi
rasa sakit dengan sang hujan.
***
Bukannya tak mengetahui perasaan
gadis itu, bukan pula tak membalas setiap cinta yang terpancar di matanya.
Hanya saja sang waktu mempertemukan mereka di saat yang tidak tepat. Siang dan malam terus berganti. Dilema
semakin dirasakan olehnya. Apapun yang dilakukannya pasti akan menyakiti satu
atau mungkin keduanya. Matanya berkaca-kaca menatap mata teduh yang selama ini
dinikmatinya diam-diam. Mata teduh sang gadis kini tengah memancarkan
kesedihan, sebelum akhirnya ia menutup matanya dan membiarkan air hujan
membelai lembut wajahnya. Rio memperhatikan semua itu, juga merasakan apa yang
tengah dirasakan oleh gadis yang jauh didepannya.
“Ungkapin bro, jangan
dipendem, sakitnya tuh disini” Gabriel menirukan gaya alay remaja jaman
sekarang.
“Dan gue harus nyakitin
Shilla?”
“Urusan milih-memilih
emang harus ada yang tersakiti”
“Sedangkan gue
bahagia?”
“Emang lo bahagia?
Justru lo yang menderita. Lo pilih Shilla ataupun Ify, tetep aja lo bakal
menderita. Kan serem dihantui sama setan yang namanya bersalah(?)”
Rio menoyor kepala
Gabriel, “muka lo tuh kaya setan”
Gabriel hanya nyengir
sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban tangan Rio.
“Rio………..”
“Noh,
istri lo udah dateng.” Gabriel segera berlari ke kamar Rio, sebelum terserang
kemurkaan seorang Mario (?).
“Anjirrrr..”
teriak Rio kesal.
“Dikira
gue udah tua apa punya istri.” Dumelnya.
Tiba-tiba
seseorang menutup matanya dengan tangan. Tangan yang halus, yang suatu saat
pasti akan digunakannya untuk menghapus air mata. Rio terdiam.
“Kok
gak ditebak sih?” tanyanya dengan nada kesal. Tangannya masih menutupi mata
Rio.
Rio
tersenyum, “Shilla..”
“Curang,”
Shilla melepaskan tangannya,
“Kamu
sengaja nunggu aku ngomong dulu, jelas aja bisa nebak. Ih aku ngambek.”
Rio
tertawa kecil lalu menggoda gadisnya, “Ngambek? Yaudah ngambek aja.”
“Rio
mah..” Shilla memanyunkan bibirnya.
Rio
memandang gadisnya yang masih kesal dengan tingkahnya, lalu tersenyum jail dan
menggelitiki Shilla. Mereka tertawa bersama.
“Jadi,
tuan putri masih ngambek?”
Shilla
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menghamburkan dirinya ke
dalam pelukan Rio. Rio balas memeluknya, dan kembali melihat ke arah jendela.
Melihat seseorang yang kini juga tengah mengisi hatinya.
***
Ify tak berani mendongakkan
kepalanya. Bahkan ia tak peduli jika caranya berjalan yang menunduk akan
membuatnya menabrak apapun yang berada didepannya. Yang ia takutkan adalah
ketika matanya harus bertemu dengan mata lelaki yang kini tengah bermain
layangan di taman AMI, tempat dimana biasanya Ify menghabiskan waktu luangnya.
Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dirasakan oleh hatinya. Entah sakit atau
bahagia. Tak ada yang bisa memastikan, antara Ify yang berjalan ke arah Rio
atau memang Rio yang sengaja menghadangnya. Yang bisa dipastikan adalah, Rio
kini berada di posisi yang seolah-olah tengah menghadang Ify. Mau tak mau Ify
mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap Rio. Namun, tatapan
Rio justru tertuju pada layangannya yang sedang melayang.
‘Dia sadar gak sih gue
sekarang ada didepannya? Gimana bisa coba gue suka sama cowok yang gak ada
peduli-pedulinya sama sekitar kayak dia’ gumam Ify dalam hati.
Ify melangkahkan
kakinya ke kanan agar bisa melanjutkan langkah, namun Rio mengikuti langkah Ify
tanpa mengalihkan pandangannya dari layangan. Ify kembali melangkahkan kakinya
ke kiri untuk menghindari Rio. Namun, entah sengaja atau tidak, Rio kembali
mengikuti gerak langkah Ify dan kembali menghadang gadis manis itu.
Ify menghembuskan
nafasnya kesal, “Boleh gue lewat?”
Ify berhasil membuat
Rio mengalihkan pandangannya dari layangan. DEG. Untuk pertama kalinya Ify
dapat memandangi setiap lekuk wajah Rio dalam jarak sedekat ini. Ify terdiam.
Takut Rio akan mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat melebihi kecepatan
normal.
“Maaf.. Silakan lewat”
untuk beberapa saat Ify sempat terpana melihat senyum Rio yang ditujukan untuk
dirinya, sebelum akhirnya ia tersadar dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Ify..” sebuah
panggilan membuat Ify terlonjak kaget. Ia segera menoleh ke belakang dan
bertanya, “Tau nama aku darimana?”
Rio tersenyum, “Nggak
susah untuk cowok mencari tau informasi cewek yang mampu menarik perhatiannya..”
Ify segera membalikkan
badannya agar leluasa untuk tersenyum. Ia masih terlalu kaget untuk mendengar
pengakuan Rio yang entah bercanda atau memang benar dari dalam hatinya. Yang
pasti, saat ini semburat merah telah hinggap dipipinya. Ify segera berjalan
dengan tergesa-gesa. Membuat Rio kembali menyunggingkan senyumnya. Untuk
pertama kalinya, Rio menjadi alasan dari ‘salah tingkah’-nya Ify.
“Nama aku Rio” teriak
Rio, berharap Ify mendengarnya.
***
Ify
memang bukan gadis remaja yang menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan dan
hanya bersenang-senang semata. Ia lebih suka menghirup udara segar di taman,
ditemani buku-buku prosa fiksi yang menjadi bacaan favoritnya. Kadang ia
berharap, kisah cintanya seperti cerita-cerita fiksi yang dibacanya. Berakhir
bahagia.
“Hai..” Ify segera
menutup wajahnya dengan buku, ketika ia mendengar suara yang akhir-akhir ini sudah
akrab ditelinganya.
‘Jantung please,
berdetak kayak biasanya aja. Jangan bikin gue salah tingkah lagi’ gumam Ify,
lalu menurunkan bukunya, memperlihatkan wajahnya, memberanikan diri membalas
sapaan Rio,
“Hai..”
“Ngapain?”
“Baca”
Rio mendadak canggung.
Bagaimana bisa ia melontarkan pertanyaan yang seharusnya tanpa dipertanyakanpun
dirinya bisa mengetahui jawabannya. Rio merutuki dirinya sendiri.
Jalanan masih terlihat
basah oleh hujan yang turun siang tadi. Dan masih terasa licin karena mentari
tak kunjung menampakkan diri hingga kini. Beberapa bulan terakhir ini memang
awan-awan sangat berkuasa atas langit, dan kinipun mereka kembali memproduksi
hujan. Rio menarik tangan Ify sembari memayungi
gadis itu dengan tangannya yang lain. Meski hujan tetap membasahinya,
tapi Ify tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dengan sedikit berlari, Rio
berusaha mencari
tempat berteduh agar gadis disampingnya tak kehujanan. Dan lagi, Ify tersenyum.
“Yo..”
“Kita
harus cari tempat berteduh Fy”
“Kita
hujan-hujanan aja..”
Rio
berhenti dan menoleh ke arah Ify. Ia lupa bahwa gadis ini adalah gadis yang
tidak akan berlari mencari tempat berteduh jika hujan turun seperti yang
dilakukannya. Ify melepaskan tangan Rio yang memegang pergelangan tangannya,
lalu menariknya untuk kembali menikmati hujan. Untuk beberapa saat, mereka
terlihat sangat bahagia. Bermain kejar-kejaran seolah-olah rasa canggung yang
biasa menyelimuti mereka hilang begitu saja. Rio memegang lututnya seraya
membuat nafasnya stabil. Ify yang melihat Rio kelelahan mulai memijakkan kakinya di rerumputan yang
terus-menerus dihantam oleh sang hujan, lalu duduk diatasnya. Rio mengikutinya. Merekapun tertawa
bersama.
“Kenapa kamu suka
hujan?” Rio menatap Ify yang mulai berbaring di atas rumput, kemudian tersenyum
memandangi wajah polos itu. Iapun ikut merebahkan dirinya di rerumputan.
“Karena menangis
adalah hal yang paling menenangkan. Dan tempat persembunyian tangisan ya ketika
hujan.” matanya terpejam, membuat kecantikan gadis ini semakin terpancar. Ify
membuka matanya, dan menoleh ke arah Rio.
“Kenapa kamu suka
hujan?”
Rio menoleh, membuat
matanya bertemu dengan mata teduh Ify, mata yang selama ini dinikmatinya
diam-diam, “Karena hujan selalu mempertemukan aku sama kamu.”
Ify tertawa kecil dan
mengalihkan pandangannya ke langit, “Berapa banyak cewek yang kamu gombalin?
Kamu tau? Cewek itu cepet GR. Gombalan kamu pasti udah nyakitin banyak cewek.”
‘Ijinin aku egois
sekali aja Shill. Maaf kalo hari ini aku ngehianatin kamu.’ Rio mencoba
mengambil keputusan dari pertentangan yang terjadi di dalam dirinya.
“Fy..”
Ify kembali menoleh ke
arah Rio, membuat tatapan mereka kembali beradu, “Ya?”
“Aku sayang sama kamu.”
Ify terlonjak kaget,
dan dengan segera memposisikan dirinya untuk duduk. Rio mengikuti.
“Aku tau apa yang kamu
pikirin. Cewek sepolos kamu gak akan gampang percaya sama cowok. Tapi kamu
harus tau, aku belum pernah seserius ini sebelumnya.” Rio berusaha meyakinkan
Ify.
“Aku pernah liat kamu
sama....”
“Itu temen aku.” Rio
dengan cepat memotong pembicaraan Ify sebelum dirinya tak mampu memaksa
lidahnya untuk berbohong.
“Fy..” Rio kembali
memanggil gadis yang tengah terdiam membelakanginya.
Ify menoleh. Meski
dalam hujan, Rio bisa melihat ada air mata yang mengalir di pipi Ify.
“Kamu tau, Yo? Mungkin
aku lebih dulu sayang sama kamu.”
Rio menyentuh pipi
Ify, mencoba menyeka air mata yang turun bersamaan dengan air hujan,
“Dan kamu tau, Fy?
Mungkin aku lebih dulu memperhatikan kamu diam-diam, mungkin aku lebih dulu
suka, cinta, dan sayang sama kamu.”
Ify tersenyum lirih,
lalu menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Rio. Erat. Seolah tak ada yang
menginginkan perpisahan di masa depan apapun alasannya.
***
Mentari
masih bersembunyi dibalik awan, membuat cuaca menjadi dingin meski hari masih
siang. Selama musim hujan masih berlangsung, taman akan tetap sepi. Mereka
hanya setia pada matahari pagi atau sore, bukan pada awan yang selalu membuat
hujan. Membuat segalanya menjadi lambat. Tapi tidak dengan Ify. Gadis ini
selalu menyukai barisan awan yang menggelapkan bumi, lalu menanti sekilas
warna-warni yang menghiasi langit. Terlebih, selama beberapa bulan ini ia tak sendirian lagi menyaksikan keindahan itu. Tak ada lagi kesedihan yang
akan dibaginya bersama hujan, hanya kebahagiaan. Dan Ify berharap kebahagiaan ini tidak hanya
untuk beberapa bulan, tapi untuk tahun-tahun mendatang juga.
“Aneh ya? Orang-orang
pengen liat pelangi, tapi gak suka hujan. Padahal gak akan ada pelangi kalo gak
ada hujan.” Rio membiarkan tubuhnya bersandar sejenak di bangku taman.
Ify menjatuhkan
dirinya di sebelah Rio, “Itulah manusia, pengen dapet kebahagiaan, tapi gak
suka ujian. Padahal untuk sekadar bahagiapun butuh proses, gak instan.” lalu
menatap ke arah langit.
“Untuk melihat pelangi
itu gampang, mendapatkannya yang susah..”
Ify menoleh, lalu
memasang wajah herannya, “Setelah hujan, pelangi nggak selalu muncul. Butuh
kesabaran, nggak gampanglah ngelihat pelangi.”
“Pelangi emang gak
selalu muncul setelah hujan, buktinya sekarang pelanginya ada di depan aku,”
Ify tertawa kecil mendengarnya. “kalo cuma sekadar mandangin pelangi itu
gampang, menggapainya yang susah.” Rio tersenyum ke arah Ify.
Ifypun tersenyum,
sebelum akhirnya menertawai gombalan Rio.
“Gombalannya gak
ngaruh, senyumnya gak mempan.”
“Tapi suka kan?” Rio
menaikturunkan alisnya.
“Dih, nggaklah.” Ify
memeletkan lidahnya.
Rio tertawa kecil
seraya mengacak poni gadisnya, lalu menatap senyum yang terus terpancar di
wajah Ify. Entah sampai kapan ia akan menjadi alasan di balik senyum Ify.
“Terus tersenyum, Fy.
Aku gak mau jadi alasan di balik air mata kamu.”
“Aku gak akan nangis
selama ada kamu di samping aku.” ucap Ify yakin.
***
Rio mengedarkan pandangannya, melihat
wajah di setiap meja yang sudah tertata dengan rapi. Pandangannya terhenti di
sudut ruangan yang sangat ramai hari ini. Rio menghembuskan nafasnya,
memantapkan hatinya untuk tidak merubah keputusan. Kemudian, ia melangkah ke
arah dimana seorang gadis cantik tengah menantinya di sebuah meja di sudut
ruangan.
“Shill..”
Shilla menoleh lalu
memeluk Rio erat.
“Aku gak mau
kehilangan kamu, Yo.”
“Kamu kenapa, Shill?”
Rio melepaskan pelukan Shilla, lalu mengajaknya untuk duduk.
“Papa aku mau aku
sekolah di luar negeri.”
“Emm.. Shill, aku
rasa, kita emang harus putus.”
“Tapi, aku gak mau
kehilangan kamu. Apa kita gak bisa LDR?”
“Shill, kamu harus
fokus belajar. Lagipula, aku mau bilang sesuatu.”
“Aku tau kamu mau
bilang apa. Kamu suka sama cewek namanya Ify kan?” Shilla mencoba untuk menahan
air matanya.
“Aku bisa aja marah,
tapi semakin aku marah, itu bakal makin jauhin aku sama kamu, Yo. Tapi,
sekarang hal yang aku takutin terjadi. Kamu milih dia. Aku gak bisa marah,
karna akupun harus ninggalin kamu juga.”
air matanya akhirnya mengalir, isakannyapun bisa terdengar oleh pendengaran
Rio. “Biarin aku yang putusin kamu. Kita putus.”
Rio menggenggam tangan
Shilla erat, “Maafin aku, Shill. Aku gak tau apa aku bisa ngelupain kesalahan
aku ini.”
Shilla menggeleng, “Kamu
gak salah. Cinta gak bisa dipaksa. Dan aku juga gak bisa maksain kamu untuk
bertahan sama aku.” lalu tersenyum, “Sekarang kamu kejar Ify. Dia pasti lagi
nangis sekarang. Kamu cek hp kamu mungkin dia udah berkali-kali ngehubungin
kamu.” Ucap Shilla yang tadi sempat melihat Ify ada disekitarnya.
Rio mencoba memahami
kalimat yang diucapkan Shilla, lalu mengaktifkan hpnya. Ada 8 pesan disana.
“Yo, kamu dimana? Aku mau ketemu.”
“Yo, kamu dimana? Aku tunggu di taman.”
“Kok kamu lama sih, Yo? Kalo gitu aku ke rumah kamu ya. Aku mau ngomong
penting, gak ada waktu lagi.”
“Yo, kata temen kamu, kamu lagi di Cafetaria? Aku nyusul ya.”
“Yo, aku udah di depan cafetaria. Kamu dimana? Aku masuk ya?”
“Kamu jahat!”
“Kamu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta, dan kamu orang pertama
juga yang buat aku sakit hati. Makasih untuk beberapa bulan ini. Aku gak marah, karna akupun harus
ninggalin kamu.”
“Semoga bahagia sama cewek tadi. Aku pamit.”
Rio terperanjat, lalu
segera pergi meninggalkan Shilla yang menangis.
“Semoga bahagia sama
Ify, Yo. Aku pamit.” lirih Shilla lalu beranjak dari tempatnya.
***
Hatinya tengah gusar. Orang
tuanya akan pindah kota karena bisnis, dan iapun harus ikut. Pikirannya sibuk
memikirkan hubungannya dengan Rio yang sudah terjalin beberapa bulan ini. Haruskah
dirinya dan Rio menjalani LDR atau berhenti sampai disini. Ia harus bertemu
Rio.
“Yo, kamu dimana? Aku mau ketemu.” Ify mengetik pesan singkat, lalu
mengirimnya. Tak ada balasan.
Ifypun kembali
mengirim sebuah pesan, “Yo, kamu dimana?
Aku tunggu di taman.” lalu segera pergi ke taman.
Ify mulai gusar karena
Rio tak kunjung datang. Sesekali ia berdiri dan melirik jam berharap Rio segera
sampai, dan mereka bisa segera memutuskan kemana arah hubungan mereka setelah
ini. Ify tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia memutuskan untuk ke rumah Rio.
“Kok kamu lama sih, Yo? Kalo gitu aku ke rumah kamu ya. Aku mau ngomong
penting, gak ada waktu lagi.”
Ify segera berjalan ke
rumah Rio yang tak jauh dari taman. Ify benar-benar berharap bisa bertemu Rio,
dan membicarakan tentang hubungan mereka sebelum ia berangkat ke Bali sore ini.
Ify mengetuk pintu rumah Rio. Namun, yang membuka pintunya adalah seorang
lelaki yang sebaya dengan Rio.
“Cari Rio ya?”
tanyanya. Ify mengangguk.
“Rionya tadi sih
bilang pergi ke cafetaria.”
“Oh, makasih emmm..”
“Gabriel” ucap lelaki
itu yang seolah-olah mengerti.
“Oh iya, makasih
Gabriel.” Ucap Ify sambil tersenyum, lalu menyusul Rio ke cafetaria dengan
sepeda.
“Yo, kata temen kamu, kamu lagi di Cafetaria? Aku nyusul ya.”
“Yo, aku udah di depan cafetaria. Kamu dimana? Aku masuk ya?”
Ify heran mengapa tak
ada satupun pesan darinya yang di balas. Ifypun memutuskan untuk masuk ke dalam
cafetaria. Ify mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tatapannya
berhenti ketika melihat kekasihnya tengah memeluk wanita yang dulu sempat
dilihatnya menggandeng tangan Rio.
‘Kamu bohong, Yo. Kamu
bilang dia temen kamu, tapi...’ gumam Ify dalam hati. Matanya berkaca-kaca, siap
bercerita tentang apa yang tengah dirasakan oleh hatinya.
Rio menggenggam tangan
wanita itu dengan erat, semakin membuat hati Ify sakit. Air matanya tak
terbendung lagi, ia membiarkan saja air matanya mengalir. Tatapannya bertemu
dengan wanita itu, kemudian tersenyum tulus ke arahnya membuat Ify tak bisa mengerti senyuman dari wanita yang kini
tengah bersama Rio itu. Tapi, hatinya tak mampu lagi melihat pemandangan yang
jauh di depannya. Ia segera berlari meninggalkan cafetaria.
“Kamu jahat!”
Ify sempat mengirim pesan sebelum pergi dari cafetaria.
Ify meletakkan
sepedanya di depan rumah. Kemudian, menghapus air matanya sebelum masuk ke
dalam rumah. Ify mencium tangan sang mama, lalu membantu mamanya memasukkan
barang-barang ke dalam mobil. Ify
kembali mengirim pesan ke Rio.
“Kamu orang pertama yang bikin aku jatuh cinta, dan kamu orang pertama
juga yang buat aku sakit hati. Makasih untuk beberapa bulan ini. Aku gak marah,
karna akupun harus ninggalin kamu.”
Ify masuk ke dalam
mobil. Ia menatap rumah Rio di seberang rumahnya. Lalu menatap taman yang
biasanya menjadi tempat dirinya dan Rio menghabiskan waktu berdua. Air matanya
menetes. Ia mengingat semua kenangan yang pernah dilaluinya bersama Rio, orang
pertama yang berhasil merebut hatinya. Kemudian, kata-kata yang pernah
diucapkan lelaki itu terus terniang di otaknya.
“Nggak susah untuk
cowok mencari tau informasi cewek yang mampu menarik perhatiannya..”
“Nama aku Rio”
“Kenapa kamu suka
hujan?”
“Karena hujan selalu
mempertemukan aku sama kamu.”
“Aku sayang sama kamu.”
“Dan kamu tau, Fy?
Mungkin aku lebih dulu memperhatikan kamu diam-diam, mungkin aku lebih dulu
suka, cinta, dan sayang sama kamu.”
“Pelangi emang gak
selalu muncul setelah hujan, buktinya sekarang pelanginya ada di depan aku,”
“Terus tersenyum, Fy.
Aku gak mau jadi alasan di balik air mata kamu.”
Air matanya
kembali menetes. Semua kenangan itu menorehkan luka yang begitu dalam di
hatinya. Ify mengirim pesan ke Rio untuk yang terakhir.
“Semoga bahagia sama cewek tadi. Aku pamit.”
Ayah Ify mulai
melajukan mobilnya. Ify tersenyum, lalu mematahkan kartu ponselnya.
“Ifyyyy....” Ify
menoleh mendengar teriakan Rio.
Ify bisa melihat Rio
yang mengejar mobilnya dari kaca mobil. Meski hatinya sakit karena Rio menduakannya,
ia tak bisa marah pada lelaki itu. Bahkan ia masih berharap bahwa ayahnya akan
membatalkan bisnisnya. Ify masih ingin mendengar penjelasan Rio atas kejadian
tadi. Tapi, ia tahu itu mustahil. Dirinya sudah berada di dalam mobil yang akan
membawanya ke Bali. Ify
membuang sebuah kertas dari mobil yang berhenti tepat di depan Rio. Rio
berhenti mengejar, dan membuka kertas itu.
“JODOH PASTI BERTEMU” air mata Rio mengalir.
Ia mengangguk dan
kembali menatap mobil yang membawa gadisnya pergi. Rio bisa melihat Ify
tersenyum dari balik kaca mobilnya. Rio balas tersenyum lirih. Air matanyapun
tak bisa ia hentikan untuk tidak menetes. Mungkin ini karma yang harus didapatkannya.
Ia menyakiti Shilla, membohongi Ify, dan kini ia harus kehilangan keduanya.
“Aku
udah dapet karma untuk perbuatanku. Dan aku pasti akan menulis kisah baruku,
sama kamu, Fy.”
***
SETAHUN
KEMUDIAN
RIO
P.O.V
Bagaimana kotamu yang baru? Seperti
biasa, kotaku yang dulu pernah menjadi kota kita selalu basah. Temanmu berbagi
rasa selalu menghujam kotaku tanpa peduli dengan perasaanku yang semakin
merindukanmu. Aku tak pernah lagi berbagi bersama hujan seperti yang pernah kau
ajarkan. Terlalu menyakitkan untukku mengingat kesalahan yang membuatku harus
kehilanganmu. Terlalu menyakitkan menahan setiap rindu yang siap membuncah
tanpa aku tahu dimana obatnya. Tapi satu hal yang aku yakini, bahwa jodoh pasti
bertemu. Aku pasti akan bertemu denganmu, dengan obat dari rasa rindu ini.
Segera.
END
















